SISTEM POLITIK PADA MASA ORDE BARU
SISTEM POLITIK PADA MASA ORDE BARU
BAB 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Keadaan politik dan keamanan negara
menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30 September 1965 ditambah adanya
konflik di angkatan darat yang sudah berlangsung lama.Keadaan perekonomian
semakin memburuk dimana pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan
harga bahan bakar menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat Rakyat melakukan
demonstrasi menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan serta
tokoh-tokohnya diadili.Pembentukan kesatuan aksi berupa Front Pancasila yang
selanjutnya lebih dikenal dengan Angkatan 66 untuk menghacurkan tokoh yang
terlibat dalam Gerakan 30 September 1965
Kesatuan aksi Front Pancasila pada 10 Januari 1966 di depan
gedung DPR-GR mengajukan tuntutan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
1.Pembubaran PKI berserta Organisasi
Massanya.
2.Pembersihan Kabinet Dwikora
3.Penurunan Harga-harga barang.
Upaya reshuffle kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966 dan
Pembentukan Kabinet Seratus Menteri tidak juga memuaskan rakyat.Wibawa dan
kekuasaan presiden Soekarno semakin menurun setelah upaya untuk mengadili
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak
berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer Luar
Biasa(Mahmilub).Sidang Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah
yang sedang bergejolak tak juga berhasil.Maka Presiden mengeluarkan Surat
Perintah Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Soeharto
guna mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang
semakin kacau dan sulit dikendalikan.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.Sistem Otoritarianisme Orde Baru
Di dalam system orde baru model
negara Indonesia merupakan model negara kapitalis,model ini mensyaratkan adanya
negara yang kuat yang mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan yang
berkelanjutan. Stabilitas politik yang kuat ini diorientasikan untuk memberi
rasa aman bagi investasi dan implementasi kebijakan pembangunan yang
diprakarsai oleh negara.Oleh karena itu,negara Orde baru secara intensif
memelihara stabilitas politik melalui dua srategi yaitu strategi diskursif
pembangunan institusional.Strategi diskursif yang telah dilaksanalkan meiputi
pemikiran mengenai diskontiniutas historis dan konstituisionalisme yang
berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana pengembangan hagemoni
kekuasaan dibangun,melainkan sebagai justifikasi untuk menghalalkan “penindasan
fisik,pelarangan,dan penggusuran orang-orangyang tidak sepaham”.Pada level
institusioal pemikiran mengenai negara yang kuat diimplementasikan melalui
rancangan koporatis terhadap organisasi-organisasi sosial-politik dan
kelompok-kelompok di masyrakat yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan
politik seperti organisasi buruh,kelompok industri,kelompok keagamaan,serta
organisasi kepemudaan.
Dalam masyarakat politik Orde Baru
seperti ini, mobilisasi massa yang melibatkan sebagian besar rakyat hanya
diijinkan oleh pemerintah dalam proses implementasi kebjakan dibandingkan
dengan pengambilan keputusan di tingkat nasional.Selama Orde Baru,berbagai
actor yang menjadi penyeimbang dan pengawas lembaga-lembaga publik seperti
kelompok-kelompok kepentingan,LSM,dan organisasi-organisasi profesi yang tumbuh
dalam masyarakat telah dikooptasi oleh rezim.Partai politik telah ”dimandulkan”
melalui kebijakan massa mengembang dan disederhanakan menjadi tiga partai
saja,kondisi ini diperparah dengan kebijakan asas tunggal Pancasila sehingga
partai-partai politik tidak dapat menggunakan ikatan ideoogisnya untuk mengikat
konstituennya.Akibatnya,birokrasi benar-benar menjadi institusi yang dominan
dalam system politik Indonesia.Hal ini mendorong individu-individu di dalamnya
berprilaku korup,nepotism,dan kolusif.Kuatnya dominasi Negara dan birokrasi
dalam mengontrol kehidupan masyarakat membuat pembangunan politik pada Orde
Baru tidak berjalan dengan baik.Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tehadap
masa depan Indonesia pasca-Soeharto.Begitu kuatnya kekuasaan politik Soeharto
yang di topang oleh birokrasi dan militer membuat struktur politik tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya,ini telah memandulkan fungsi-fungsi sruktur
politik ”demokrasi “ hingga menjadi hanya sebagai pelayan atas
keinginan-keinginan Soeharto.
Kemandulan struktur politik dalam
melaksanakan fuyngsi-fungsi yang di embannya juga dapat dilihat dari
ketidakmampuan lembaga legislatif dalam melakukan checks and balance terhadap
lembaga eksekutif.Proses screening yang dilakukan pada masa pemilihan umum guna
memilih lembaga ini mandul secara politik.Pada tataran tertentu mereka hanya
menjadi “tukang stempel” atas kebijakan dan produk yang diajukan oleh kalangan
eksekutif.Ini juga yang terjadi pada lembaga tertiggi Negara yaitu MPR.Selama
enam kali pemilihan umum sejak tahun 1971 hingga tahun 1997 lembaga ini hanya
mampu bertindak sebagai pengabsah Soeharto sebagai presiden.Kegagalan
partai-partai politik dalam melakukan pendidikan dan recruitment politik
sebagai akibat pemandulan yang sistematis telah membuat Soeharto menjadi tokoh
sentral yang tidak mempunyai pesaing dalam arena perebuta kursi
presiden.Tokoh-tokoh alternatif dihancurkan dalam arena persaingan
kekuasaan,bahkan ketika di kalangan masyarakat mulai muncul desakan yang kuat
untuk menolak Soeharto sebagai presiden untuk keenam kalinya,lembaga tertinggi
Negara masih tetap memilihnya sebagai presiden.
Sementara itu pemberlakuan SIUPP yang dapat mengancam
keberadaan pers sewaktu-waktu telah membuat pilar demokrasi yang penting ini
tidak mampu berbuat banyak selain sebagai ‘pendukung’ kebijakan rezim yang
setia.Akibatnya mereka lebih banyak meliput hal-hal yang berbau
human interest,kriminalitas,dan pornografi dibanding dengan bertindak sebagai pengawas
dalam sistem politik Indonesia.Dalam situasi ini nyaris komunikasi politik yang
seharusnya mengalir secara timbale balik antara masyarakat dengan Negara tidak
berjalan dengan baik.
B.Penopang Kekuasaan Orde Baru
Betapa kuatnya kekuasaan Orde Baru
itu sehingga menarik untuk dianalisis faktor-faktor apa saja yang menjadi
penopangnya.Secara umum sedikitnya ada empat sumber utama yang menjadi penopang
kekuasaan Orde Baru.
Pertama,represi politik.Sejak Orde Baru melakukan
konsolidasi politik pada awal 1970an,tindakan kekerasan dan represif merupakan
instrument utama yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai stabilitas
politik.Organisasi militer yang ditempatkan hingga ke desa-desa dalam bentuk
Bantara Pembina Desa (Babinsa),sementara dalam waktu bersamaan pemerintahan
Orde Baru telah mendirikan banyak instrument guna melakukan represi terhadap
warga negaranya.
Kedua,klientelisme ekonomi. Ini dilakukan seiring dengan
melmpahnya sumber ekonomi yang berasal dari hasil ekspor minyak dan hasil alam
lainnya.Dengan sumber inilah Soeharto berhasil secara efektif membeli dukungan
elit dan masyarakat luas.
Ketiga,wacana partikularistik.Dalam kaitan ini Orde Baru
telah mengembangkan banyak wacana partikularistik yang diorientasikan untuk
memapankan Orde Baru seperti wacana tentang demokrasi Pancasila , tanggung
jawab sosial warga negara,Hak Asasi Manusia(HAM) dan lain sebagainya.Dengan
demikian jika politik represi dan klientelsme ekonomi adalah meknisme control
terhadap perilaku politik maka politik wacana merupakan mekanisme kotrol
terhadap persepsi dan pola pikir partisipan politik
Keempat,korporatisme negara.Korporatisme Negara dilakukan
terhadap organisasi masyarakat yang diarahkan sebagai sumber mobilisasi
massa.Korporatisme ini mewujud dalam bentuk penunggalan kelompok-kelompok
profesi dan kepentingan yang kebawah menempati posisi penting di hadapan
anggotanya, tetapi sangat rentan terhadap intervensi negara.Beberapa oganisasi
korporatis di antaranya Persatuan Wartawan Indonesia(PWI),Persatuan Guru
Republik Indonesia(PGRI),Kamar Dagang dan Industri(KADIN),dan sebagainya.
C.Peran dan Posisi Militer
Pada masa Orde Baru tidak dapat
disangkal lagi bahwa militer mempunyai peran yang cukup signifkan dalam
menopang kekuasaan otoriter Orde Baru.Oleh karenanya pembahasan system otoriter
Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer dalam menopang kekuasaan
melalui paradigm dwifugsi ABRI.Dwifungsi merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut dua peran yang dikejakan oleh militer yakni fungsi tempur dan fungsi pembinaan
wilayah atau masyarakat.
Namun sayangnya konsep dwifungsi semacam ini telah membuka
peluang bagi penyalahgunaan tentara sebagai alat Negara menjadi
sekedar alat kekuasaan yang digunakan untuk menopang kekuasaan Soeharto.Oleh
karena itu tentara lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggenga kekuasaan
soeharto melalui kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan di
orientasikan untuk mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan
eksternal.Dalam situasi separti ini para tentara lebih gemar memerangi
rakyatnya sendiri yang tidak sepaham dengan penguasa dibandingkan menjadi
tentara professional yang menjaga intregritas kdeaulatan rakyat.Dalam kaitannya
dengan dwifungsi ABRI setidaknya ada tiga peran yang mereka mainkan dalam usaha
untuk menopang kekuasaan Soeharto.
Pertama,militer menepati jabatan-jabatan politis seperti
menteri,gubernur,bupati,anggota Golkar dan duduk di anggota DPR.Misalnya pada
tahun 1966 anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dan 27
anggota kabinet,di DPR 75 anggota militer menduduki kursi DPR.Di tingkat daerah
pada tahun 1968 sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer dan
meningkat menjadi 92% pada tahun 1970.
Kedua,militer menghagemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti
dalam kasus pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia(ICMI) dan kassospol
ABRI Letjend Syarwan Hamid yang mengumpulkan para guru besar dari seluruh
Indonesia di Bogor pada tahun 1997 yang bertujuan untuk “memberi informasi”
mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik dan bangkitanya komunisme baru.
Ketiga,militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap
rakyat.Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini diantaranya adalah Orde Baru
melakukan pembunuhan pada ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Soekarno serta
memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan(1966-1971);pembunuhan
missal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok(1984) dan masih banyak
lainnya.
Selain peran di atas implikasi kuatnya peran militer pada
masa Orde Baru adalah membudayanya bisnis militer.Dalaam hal ini,George Junus
Aditjandra mengungkapkan ada tiga bisnis militer yakni pertama,bisnis
institusional ABRI yang berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung yayasan
militer dan polisi.Kedua,adalah bisnis nonistitusional ABRI yakni bisnis milik punawirawan
ABRI dan kelurga mereka yang sudah berkembang menjadi konglomerat yang
kuat.Hubungan bisnis institusional dan noninstitusional ini sudah sangat
jelas.Kerabat dan koroni Soeharto sudah lama memiliki kebiasaan merekrut bekas
komandan TNI dan Polri ke dalam perusahaan mereka dalam posisi sebagai
komosaris Sebaliknya banyak para perwira dan mantan perwira yang dikaryakan ke
badan-badan usaha milik Negara(BUMN),yang ternyata sangat lihai menguras
perusahaan tersebut untuk kepentingan pribadi.Ketiga,criminal economy atau
disebut “bisnis kelabu” militer.Menurut Aditjandra kaki ketiga bisnis militer
ini cukup luas cakupannya mulai dari pemungutan biaya proteksi dan
perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin dilidungi ,dan jarahan
kelompok-kelompok perusuh bersenjata api maupun bersenjata tajam,dan punya
massa yang cukup banyak untuk melakukan intimidasi sampai dengan penjualan
senjata secara iliegal,petdagangan narkoba,perdagangan PSK,sampai dengan
perdagangan flora dan fauna langka.
D.Krisis dan Keretakan Sistem Orde Baru
Kejatuhan Soeharto tidak dapat
dilepaskan dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan
1997.Krisis ini telah membuat tekanan masyarakat berkembang semakin kuat.Dalam
kaitan ini, organisasi serta tokoh-tokoh politik kemudian dapat mengubah
berbagai tuntutan dan kepentingan masyarakat menjadi tekanan unttuk perubahan
yang bersifat terpusat.Dengan kata lain,krisis menjadi katalisator penting bagi
tuntutan perubahan di Indonesia.
Kegagalan pemerintah dalam merespon
dan mengatasi krisis tersebut membuat legimitasi pemerintahan Soeharto hancur
berantakan.Bahkan lebih parah nya lagi, rezim ini tidak lagi dipercaya oleh
rakyat untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, dan akibatnya krisis
ekonomi berkembang menjadi krisis politik.Krisis ekonomi telah mendorong
kehancuran kredibilitas pemerintah, kehancuran kredibilitas pemerintah di mata
masyarakat luas dan dunia internasional tersebut telah mengakibatkan hilangnya
kepercayaan(thrust) yang dapat dilihat dari pernyataan pejabat represntatif
Bank Dunia untuk Indonesia,Dennis de Tray ketika pemerintah meminta pertolongan
IMF. Menurutnya Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi melainka mengalami
krisis kepercayaan.Krisis keperayaan masyarakat terhadap pemerintahan dapat
dilihat dari respon masyarakat yang sering kali brlawanan dengan tujuan dan
arah berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Selama ini legimitasi utama
pemerintahan Orde Baru adalah pada pembangunan ekonomi.Di luar itu,
keberhasilan ekonomi rezim ini tidak mempunyai basis legimitasi
apapun.Pembangunan(developementalism) telah menjadi ideologi rezim yang di
propagandakan ke seantero Indonesia.Pihak-pihak yang menentang disingkirkan dan
dianggap subversif.Bahkan krisis ekonomi juga telah menyadarkan banyak pihak
bahwa pembangunan ekonomi yang katanya kokoh ternyata tidak mampu menahan
gejolak ekonomi global.Sebaliknya Indonesia menjadi negara yang paling lama
keluar dari krisis ekonomi jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang
mengalami krisis yang sama.Selanjutnya akibat dari krisis moneter yang sangat
parah adalah pilar-pilar ekonomi Indonesia mengalami keguncangan.Sektor ekonomi
modern seperti industry,kontruksi,dan keuangan telah hancur berantakan.Dampak
yang ditimbulkannya adalah jutaan kaum pekerja telah kehilangan lahan
kehidupanya sehingga menambah jumlah orang yang masuk dalam bariasan
pengagguran.
Ringkasnya tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter
yang berujung pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan semakin
memburuk.Penyakit pembangunan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak tahun 1960 telah merajarela
dan bertambah parah seiring ketersediaan laapangan pekerjaan,pendidikan untuk
kaum miskin,akses layanan kesehatan gizi balita,dan jaminan lingkungan yang
semakin buruk ataupun korupsi,kolusi,dan nepotisme yang bertambah luas serta
amburadulnya penegakan hukum
KESIMPULAN
Sistem politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru selama
lebih dari tiga dasarwasa telah gagal dalam meraih tujuan “masyarakat adil dan
makmur” seperti yang selalu dinyatakan oleh penguasa Orde Baru.Implikasi dari
kegagalan ini adalah kehancuran basis legimitasi Orde Baru yaitu pembangunan
ekonomi.Padahal, di luar pembangunan ekonomi rezim Soeharto tidak memiliki
basis legimitasi.Pembangunan politik demokrasi tidak dilakukan sama
sekali.Kebasan pers amat dikekang dan kebebasannya ditentukan oleh mood
penguasa.Ikatan-ikatan sosial juga dihancurkan sebagai akibat politik pemecah
belahan yang dilakukan rezim Orde Baru.
.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno,Budi.2007.”Sistem Politik Indonesia Era
Reformasi”.Yogyakarta; Media Presssindo
Sejaraumc.wordpress.com/2012/Latar belakang lahirnya Orde
Baru.
Komentar
Posting Komentar